Dewasa ini, arus informasi bisa dibilang mengalir kian deras. Aliran
informasi mengalir dari satu sumber ke penerima dan kemudian mengalir
lagi ke penerima berikutnya. Begitu seterusnya. Keadaan seperti ini
memang tak bisa dihindari. Bisa dibilang hal ini adalah salah satu
konsekuensi dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi di era
globalisasi.
Beberapa new media dengan teknologi canggih bermunculan
dengan menawarkan segala informasi yang ada. Sebut saja, media sosial
seperti internet yang telah dilengkapi search engine, jejaring
sosial, blog, dan sebagainya. Informasi yang dapat kita peroleh dari
media sosial tersebut tidak dipungkiri sangat berguna bagi kehidupan
karena nilai informasi yang dihadirkan tergolong aktual.
Kemampuan media sosial menjadi medium pembenaran informasi mendekati
kaidah ilmiah yang telah terjawab melalui sifat yang terkadang absurd,
maya, dan juga penuh kepalsuan. Media sosial bisa menjadi kamuflase
semata karena mampu menawarkan berbagai macam informasi yang tak
terbatas jarak dan waktu. Masyarakat maya dapat memperoleh berbagai
informasi dari negara atau benua yang berbeda. Hal ini tentu saja
menjadi daya tarik tersendiri dari media sosial yang dimanfaatkan
sebagai wahana pencitraan.
Jika mengkaji lebih dalam, pengaruh media sosial terhadap penggunanya
tidak hanya pada hal positif, tetapi juga memiliki dampak negatif atas
konstruksi pencitraan yang bisa dibentuk. Sadar atau tidak sadar, hal
ini sudah menjadi fenomena dalam masyarakat maya. Sebagai contoh,
gencar pemberitaan tentang pencitraan figur para capres dan cawapres
yang akan dipilih pada Pemilu 9 Juli 2014 nanti menjadi ramai dibicarakan. Pencitraan melalui informasi, foto, visi dan misi masing-masing kandidat
telah disajikan dengan menarik dan persuasif. Tidak hanya untuk
kepentingan saat ini, para elite politik pun menggunakan fenomena
tersebut untuk kebutuhan reputasi yang akan datang. Strategi komunikasi
politik mereka terlihat begitu cemerlang sehingga mampu menghipnotis
publik yang terkadang tidak mengetahui ada indikasi pesan yang bersifat settingan semata.
Beberapa pencitraan pun dihadirkan dalam nuansa provokasi. Dimana ada
kelompok tertentu yang ingin menjatuhkan citra dari suatu tokoh atau
kelompok dengan black campaign. Media sosial yang menyajikannya
seolah berusaha mempengaruhi opini publik. Fenomena ini akan
membuktikan muncul umpan balik dalam suatu proses komunikasi yang
bisa menjadi bahan masukan. Tak aneh memang jika fenomena pencitraan di
media sosial yang ada tampak begitu absurd. Indikasinya, kebanyakan dari
kita melihat kepribadian manusia hanya dari kemasannya sehingga segala
informasi yang ada terlihat abstrak. Fenomena pencitraan di media sosial
pun hanya menjadi “kendaraan kemunafikan diri”. Maksudnya, kekuatan
nilai berita, foto, visi dan misi yang ditampilkan seseorang dalam media
sosial tersebut kadang kala tidak diimbangi dengan esensial jiwa akan
kejujuran konten pesan yang seharusnya disampaikan ke publik secara
natural. Dapat dikatakan, media sosial hanya digunakan sebagai hegemoni
dalam meraih tujuan praktis.
Kita harus lebih pintar mencari fakta tidak hanya dari satu sisi
saja. Jika kita melihat hanya dari satu sisi, maka yang akan kita
dapatkan hanyalah nilai informasi yang mengungkap sensasi. Sudah
seharusnya, kita mulai menggunakan konsep pemikiran bahwa apa yang
terungkap adalah apa yang ada padanya. Totalitas diri-lah yang harusnya
diungkap, ada kejujuran yang dalam dan tulus, serta mengalir dari diri
yang paling dalam untuk pencitraan yang elegan. Inilah sebuah pencitraan
yang bisa diterima agar tidak terjadi “pembunuhan karakter”.
Seharusnya media sosial juga sebagai pembawa pesan atau informasi
harus tetap bersifat “netral”. Artinya, media sosial dapat
mempublikasikan informasi yang ada dalam ruang lingkup nilai positif dan
negatif. Semua itu dapat dilakukan oleh kita sebagai pengguna media
sosial.
Kita kaji lebih lanjut informasi yang tersaji dengan berperan
kritis dalam mencerna informasi yang ada. Hal tersebut dilakukan agar
kita tidak mudah terpengaruh dan terlalu cepat bereaksi atas efek
pencitraan dari informasi tersebut. Walaupun itu sulit, tapi harus kita
coba sehingga kita sebagai pengguna media sosial mampu bijak dalam
memberikan, membaca, atau menanggapi situasi informasi supaya tersaji
secara ideal. Mari, kita ubah konotasi pencitraan di media sosial yang hanya sebatas eksistensi belaka menjadi ajang sosialisasi yang membumi.
*Opini ini dibuat dalam Forum ke-6 untuk Mata Kuliah New Media & Society
Format E-Learning Universitas Mercu Buana Program Kelas Karyawan Fakultas
Komunikasi Jurusan Penyiaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar