Film Indonesia yang terakhir kali aku tonton
di bioskop, pada tanggal 8 Desember 2016 silam, yaitu film Headshot. Dengan promosi diberbagai media sosial, film ini selalu
menjadi sorotan trending topic di
hari perdana penayangannya hingga sekarang. Sengitnya karya produksi film lokal
yang sedang naik di layar lebar penghujung tahun ini tak mempengaruhi film Headshot untuk menduduki film terlaris
pekan ini.
Kesuksesan dengan sejumlah film
drama-remaja seperti Magic
Hour dan ILY from 38.000 FT, Screenplay Films ternyata
mampu mengembangkan karyanya ke genre yang lebih luas. Reputasi sebagai
rumah produksi yang membuat film televisi ala cinta remaja ini berhasil
dipatahkan. Salah satunya dengan genre film laga yang diwujudkan lewat film Headshot. Ini menjadi suatu terobosan mentereng terbaru.
Digarap oleh The Mo Brothers, film Headshot menjadi
karya laga pertama yang digarap dari kerjasama antara Screenplay Productions dengan Infinite Framework Studios yang tergabung dalam Screenplay Infinite Films (SIF). Hasil
produksi film ini mendapat tanggapan yang istimewa dengan berkelananya film ini
ke International Toronto Film Festival (TIFF) 2016 di Kanada dan 24
festival film bergengsi skala Internasional lainnya. Sebuah anugerah bagi duo
sutradara, Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel.
Meski sedikit berbeda dengan dua film Mo
Brothers sebelumnya yaitu Rumah
Dara dan Killers, film ini memiliki
jalinan cerita yang jauh lebih simple.
Headshot bercerita
tentang seorang pria yang ditemukan dengan luka tembak di kepalanya. Ia siuman setelah mengalami
koma cukup panjang. Ia dirawat oleh Ailin (Chelsea Islan), seorang dokter muda.
Ailin kemudian memberi nama Ishmael (Iko Uwais) kepada lelaki misterius
tersebut. Ishmael yang kehilangan memorinya terus menjalin hubungan tanpa
status dengan Ailin. Lama-kelamaan, Ailin pun berusaha mengungkap serpihan-serpihan
memori Ishmael yang hilang. Hubungan Ailin dan Ishmael mulai dekat. Namun,
tanpa disadari, nyawa Ishmael terancam dan banyak orang menginginkannya mati.
Ailin kemudian terbawa ke dalam pusara masalah yang dihadapi Ishmael.
Ternyata Ishmael memiliki masa lalu kelam
yang akhirnya menyeret Ailin dalam bahaya teror sekumpulan pembunuh bayaran. Tak
ada jalan lain, Ishmael pun mempertaruhkan jiwa raga demi menyelamatkan Ailin
dan bocah tak berdosa dari cengkraman ketua mafia gangster bengis, Lee (Sunny Pang)
yang ternyata ayah kandung dari Ishmael sendiri.
Pemeranan
yang dilakukan
oleh Iko Uwais, Chelsea Islan, Julie Estelle, Very Tri Yulisman, Zack Lee,
David Hendrawan, Ganindra Bimo, serta Sunny Pang (aktor asal Singapura) mampu
tampil secara fresh penuh kekerasan.
Apalagi, penampilan Iko Uwais dan Chelsea Islan dipadukan sebagai daya
tarik romance drama dengan aksi yang
mendebarkan disetiap adegannya. Chemistry
emosional coba dibangun dengan matang untuk menumbuhkan romansa pasangan yang
sedang dimabuk asmara. Hanya saja, Iko masih tampak canggung dan Chelsea pun
tak terlihat nyaman hingga penonton tak mampu larut dalam suasana romantika
keduanya.
Iko Uwais memainkan peran sebagai pria
amnesia yang memiliki masa lalu kelam. Dibeberapa kesempatan, ia juga tampak
trauma dengan apa yang terjadi tentang dirinya dulu. Tak hanya memainkan
karakter semu, bakat silat yang sudah dimiliki Iko juga tampak professional dalam permainan full action setiap pergerakan. Koreografi
yang matang juga mengukuhkan Iko berlaga agresif memainkan setiap adegan
pertarungan. Aksinya melawan mafia telah diatur sedemikian rupa agar satu per
satu musuh dikalahkan.
Aksi seperti itu justru tak mampu menunjukkan
karisma Iko sebagai seorang jagoan. Struktur adegannya dibuat seperti game.
Ismael harus bertarung melawan anak buah kawanan mafia hingga mencapai level
tertentu dengan peningkatan tantangan agar siap menghadapi sosok bos di level
akhir adegan. In frame dan out frame para penjahat itu begitu mudah
dikelola, terutama saat adegan di kantor kepolisian.
Chelsea Islan dengan penampilannya yang masih
sama seperti biasa juga berusaha konsisten dengan film-film sebelumnya. Hanya
saja, sebagai Ailin, Chelsea tidak hanya menjadi sosok yang lemah lembut dan tidak
berdaya, tetapi ia juga tampak cerdas, tegar dan cepat dalam bertindak. Dalam
film ini, Chelsea Islan memang memiliki
adegan laga yang porsinya tidak begitu banyak dibanding dua pemeran utama
lainnya, namun ia berhasil menghadirkan tokoh Ailin yang berkesan.
Julie Estelle juga mampu memerankan Rika,
sebagai karakter perempuan pembunuh yang merupakan anak angkat ketua gangster dalam Headshot. Pertimbangan
sutradara yang sebelumnya pernah terlibat dengan Julie di film Rumah Dara
mungkin menjadi salah satu faktor untuk Julie Estelle lolos casting kembali dalam film ini. Dengan hand property, pisau kecil yang menjadi
senjata rahasianya, ia berusaha bermain kejam dengan penuh kontinuitas walaupun
hanya terlihat sepintas.
Penata artistik pun berusaha menyiapkan properti-properti
senjata yang begitu tertata untuk menjaga continuity
brutalitas adegan perkelahian. Mereka juga memilih lokasi syuting disekitar
Jakarta dan Batam. Pemilihan lokasi pertengkaran di pantai menjadi suatu adegan
yang semakin menantang. Meskipun ada slow
motion effect yang tak bermakna di pantai itu.
Selain itu, saat harus berkelahi didalam bus juga
cukup mengganggu karena ruang gerak pemain menjadi terbatas dan terlihat tak
maksimal hingga klimaks. Adegan seperti itu yang mempengaruhi tata kamera tak
mampu menangkap gambar untuk lebih berani. Bahkan, angle, type shot, dan handheld style pun terlihat tak ada
variasi yang berarti.
Kondisi demikian membawa penonton tak
menikmati adegan yang ikonik dan menempel diingatan. Dari semua adegan, aku hanya
suka adegan pertarungan didalam sel seperti penjara bawah tanah antara Chelsea
Islan dan seorang bocah melawan salah satu anggota kelompok Gengster. Dua orang
wanita melawan satu orang pria dengan kekuatan seadanya.
Penonton hanya diajak untuk mengikuti alur
yang mudah dimengerti karena sudah bisa diprediksi. Selain itu, beberapa dialog
juga terlihat janggal dan ada plot yang bolong. Tempo film dibuat begitu
menyayat dengan mayat-mayat dengan mudah bergelimpangan darah. Semua cerita
tampak dibuat secara kebetulan begitu saja. Timeline
skenario kurang begitu kuat mengikat rangkaian adegan yang tersaji didepan
mata.
Adegan hanya dipenuhi aksi brutal dan sadis.
Perkelahian berlangsung seru dan ada beberapa efek pukulan yang membuat
penonton mengilu. Akhirnya, adegan terasa dejavu
dan pengungkapan kisah masa lalu jati diri Ishmael yang sebenarnya tidak
memiliki dampak emosional yang membawa penonton untuk menerka karena semua
sudah tersaji dalam narasi begitu saja.
Secara timing,
film ini juga memiliki durasi yang begitu panjang. Meskipun demikian,
penyiksaan kental tak terlalu dieksploitasi secara berlebihan seperti film-film
laga sejenisnya. Ritme sinematografi mampu menyeimbangkan unsur visual dengan
keji. Ini yang menjadi proses cerdas penciptaan karya kreatif bernilai tinggi.
Layak, jika penata visual mendapatkan piala Citra tahun ini.
Ditambah lagi tata musik Headshot yang digarap oleh
Aria Prayogi dan Fajar Yuskemal telah menghasilkan tata suara yang begitu
intens membawa penonton agar tetap tegang. Wajar saja jika mereka juga berhasil
menjadi penata suara terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2016.
Banyak
netizen membandingkan film ini dengan
'The Raid'. Tapi, bagiku 'Headshot' memiliki
sisi emotionnya which is so good. Unsur
laga dan romansa coba dipadu berkolaborasi, walaupun belum berada pada level
mempesona yang serasi. Hal terpenting untuk film Headshot yaitu tim produksi telah
mampu menunjukkan effort kualitas keseluruhan
film yang layak untuk diapresiasi, tidak hanya membuktikan eksistensi di skala
nasional, tetapi juga di skala internasional sebagai film yang seru.
Seperti
itu contoh tulisan kritik saya. Semoga dengan saya bergabung dengan KoMik
(Kompasianer Only Movie enthus(i)ast Klub), kita bisa menjangkau film-film lain
untuk diapresiasi. Bahkan, kita juga bisa memproduksi berbagai genre film agar
menjadi inspirasi.